Politik bebas aktif Indonesia dalam resolusi Majelis Umum PBB sebagai respon terhadap krisis di UkrainaMahasiswa Magister Hukum Universitas Lampung (Unila) angkatan tahun 2021, Lanina Aprilia Kamil. (*)

HomeJurnalisme Warga

Politik bebas aktif Indonesia dalam resolusi Majelis Umum PBB sebagai respon terhadap krisis di Ukraina

"Resolusi majelis umum PBB tidak terikat oleh hukum internasional, dalam prespektif teori hukum internasional Oppenheim resolusi majelis umum PBB tersebut hanya dapat dimaknai sebagai external power yang berbentuk psychological force atau dengan kata lain merupakan sanksi yang mengutuk Rusia yang dianggap sebagai pelanggar hukum internasional."

Resmi Dilantik, SMSI Riau Siap Bermitra dengan Pemerintah
Bupati Lampung Utara tandatangani prasasti hibah tanah dan gedung kantor KPU
Rencana 100 hari kerja, Bupati Lamtim fokus benahi jasa pelayanan masyarakat

Konflik antara Rusia dan Ukraina menjadi persoalan yang kompleks dalam konteks diplomasi, hal ini mengundang berbagai macam opini dari berbagai negara termasuk Indonesia, salah satunya adalah mengenai bagaimana respon dan posisi Indonesia dalam menanggapi konflik antara dua negara tersebut. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi resolusi yang menuntut Rusia untuk segera mengakhiri invasi terhadap Ukraina, berdasarkan data tentang negara-negara anggota PBB yang memberikan suaranya dalam resolusi tersebut sampai pada 03 Maret 2022 terdapat 193 negara anggota tercatat mendukung agar operasi militer Rusia di Ukraina segera diakhiri, sementara itu terdapat 5 negara anggota yang menolak serta 34 negara memilih abstain.

Posisi Indonesia mulai tercermin dalam resolusi majelis umum PBB tersebut, karena Indonesia adalah salah satu negara yang mendukung resolusi tersebut, sikap Indonesia ini mengundang banyak perdebatan, salah satunya adalah sikap Indonesia dalam mendukung resolusi tersebut dianggap sebagai keberpihakan atau tidak lagi netral, yang dimana keberpihakan tersebut menciderai status Indonesia sebagai negara non-blok dan tidak sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang didasari oleh beberapa landasan seperti landasan Idiil, Landasan Konstitusional dan UU No 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri sebagai landasan operasional. Penulis akan menganalisis persoalan ini dengan membedah hakikat hukum internasional untuk mengetahui kaitan hukum internasional dengan resolusi majelis umum PBB yang disetujui oleh banyak negara termasuk Indonesia, hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah keputusan Indonesia menyetujui resolusi majelis umum PBB mengenai penghentian invasi Rusia terhadap ukraina adalah langkah yang tepat dalam merespon krisis di Ukraina.

Hukum internasional berjalan atas dasar prinsip equality (kesetaraan) sehingga prinsip terbentuknya hukum yang utama didasarkan atas perjanjian dengan dalil pacta sunt servanda, bahwa perjanjian berlaku seperti undang-undang pada pihaknya. Setidaknya terdapat dua pendapat utama dalam upaya untuk merekognisi eksistensi hukum internasional, pertama ada John Austin yang berpendapat bahwa hukum internasional tidak memiliki daya paksa, karena memang tidak ada satupun lembaga yang memiliki kewenangan polusional di tingkat dunia, bahkan piagam PBB pun tidak membenarkan para anggota untuk saling mengintervensi atas urusan internal negara anggotanya yang kemudian hal ini menjadi prinsip dasar hukum internasional, yaitu prinsip non-intervensi. Kedua adalah pendapat yang dikemukakan oleh Lassa Francias Lawrence Oppenheim yang berpendapat bahwa hukum adalah hukum yang sesungguhnya, hal ini setidaknya dilihat dengan tiga kriteria yaitu, masyarakat, hukum, dan external power.

Merujuk pada video yang diunggah oleh media CNN Indonesia pada laman resminya dikatakan bahwa banyak pihak pesimis terhadap resolusi PBB karena tidak mengikat secara hukum, dengan demikian hal ini selaras dengan teori John Austin mengenai hukum internasional hanya layak dikategorikan sebagai positive morality karena tidak memiliki daya paksa, akan tetapi bila dilihat dengan lebih teliti dari prespektif Oppenheim mengenai external power maka hal tersebut tidak begitu relevan, karena hukum internasional memiliki mekanismenya sendiri dalam memberikan sanksi, karena secara proporsional kita tidak dapat menganggap bahwa pelanggar hukum internasional dalam konteks ini diberi sanksi seperti sanksi hukum nasional. Hukum internasional dapat memberika beberapa sanksi seperti sanksi sosial, sanksi internasional, hingga sanksi yang berbentuk psychological force.

Fakta tersebut menunjukan bahwa memang resolusi majelis umum PBB tidak terikat pada hukum internasional bila dilihat dari prespektif John Austin, akan tetapi resolusi majelis umum PBB tersebut merupakan sebuah external power atau jaminan terlaksana menurut Oppenheim dalam teorinya yang menganggap bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya, sehingga resolusi majelis umum PBB tersebut merupakan external power yang berbentuk psychological force untuk negara yang melanggar dalam hal ini adalah Rusia.

Dalam ranah hubungan internasioal sekiranya terdapat dua prespektif besar, yang pertama adalah prespektif realisme yang di pelopori oleh Hans J. Morgenthau dan prespektif peace atau liberalisme yang di pelopori oleh Stanley Hoffman, kedua prespektif ini sebenarnya memiliki pandangan yang sama, yaitu menyelesaikan konflik. Tetapi jika realisme menyelesaikan konflik memilih dengan perang, liberalisme memilih menyelesaikan konflik dengan cara diplomasi, kerjasama, aliansi dan sebagainya yang tidak menggunakan cara kekerasan. Indonesia merupakan negara yang memiliki prinsip diplomasi politik bebas aktif dan dengan itu Indonesia telah mengambil sikap untuk menegaskan posisinya dalam konflik Rusia dan Ukraina dengan menyetujui resolusi majelis PBB, sehingga langkah politik bebas aktif yang diambil Indonesia tergolong prespektif liberalisme/peace.

Berdasarkan paparan yang telah dijelaskan mengenai resolusi majelis umum PBB merupakan external power dalam bentuk psychological force yang diberikan kepada Rusia dan prespektif Indonesia mengenai langkah yang diambil dengan politik bebas aktifnya, maka Indonesia di pastikan tidak menginginkan keberlangsungan invasi Rusia terhadap Ukraina yang menimbulkan krisis di Ukraina, dengan ini jelas bahwa Indonesia sudah bukan merupakan negara nonblok dan mengutuk rusia melalui resolusi majelis PBB bersama berbagai negara lain yang ikut serta menyetujui resolusi tersebut, hal ini juga didukung oleh pernyataan mentri luar negeri Indonesia yang diunggah pada laman resminya, terdapat lima poin dalam pernyataan tertulis tersebut, salah satunya adalah poin kedua yang menyatakan: oleh karenanya, serangan militer di Ukraina tidak dapat diterima. Serangan juga sangat membahayakan keselamatan rakyat dan mengancam perdamaian serta stabilitas kawasan dan dunia.

Sikap Indonesia tersebut dapat dimaknai derogatif oleh Rusia, hal ini tentu menjadi persoalan dalam melaksanakan politik bebas aktif, kendati langkah Indonesia menyetujui resolusi majelis umum PBB merupakah langkah yang sesuai dengan prinsip diplomasi politik bebas aktif, pada dasarnya memang Indonesia bebas menentukan posisinya, akan tetapi Indonesia harus juga aktif dalam membantu penyelesaian konflik, resolusi majelis umum PBB memang terlihat sebagau upaya untuk menyelesaikan konflik, akan tetapi dalam hal ini keberpihakan Indonesia tentu menghalangi Indonesia sendiri untuk membantu memediasi keduabelah pihak yaitu Rusia dan Ukraina karena sikap Indonesia sangat berpotensi dimaknai derogatif oleh Rusia, sehingga persetujuan Indonesia terhadap resolusi majelis umum PBB yang tidak terikat oleh hukum internasional tersebut menunjukan bahwa Indonesia tidak tepat dalam mengambil sikap, karena Indonesia dengan politik bebas aktifnya bisa saja abstain dalam resolusi majelis umum PBB tersebut untuk menjaga citra Indonesia di mata kedua belah pihak yang sedang berkonflik dan dapat menawarkan berbagai solusi penyelesaian konflik dengan komunikasi dan hubungan yang baik.

Indonesia untuk dapat melakukan upaya mediasi kedua belah pihak tentu tidak dapat berperan aktif sendiri, melainkan harus ada dukungan dari negara lain, sebagai bentuk implementasi politik bebas aktifnya Indonesia dapat melakukan beberapa upaya bila Indonesia abstain dalam resolusi majelis umum PBB, salah satunya adalah memanfaatkan kepemimpinan presidensi G20 karena dalam G20 terdapat 19 negara serta satu kawasan ekonomi Uni Eropa atau dapat berperan aktif melalui ASEAN karena terdapat 10 negara di Asia Tenggara, dengan itu Indonesia dapat bergerak melakukan penyelesaian konflik dengan dukungan negara lain.

Pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa resolusi majelis umum PBB tidak terikat oleh hukum internasional, dalam prespektif teori hukum internasional Oppenheim resolusi majelis umum PBB tersebut hanya dapat dimaknai sebagai external power yang berbentuk psychological force atau dengan kata lain merupakan sanksi yang mengutuk Rusia yang dianggap sebagai pelanggar hukum internasional, dan sikap Indonesia yang menyetujui resolusi tersebut merupakan langkah politik bebas aktif yang kurang tepat karena hanya memberi potensi Indonesia menjadi negara yang tidak ramah dengan Rusia dan hal tersebut akan menjadi kendala terhadap upaya Indonesia aktif dalam ikut serta menyelesaikan konflik antara Rusia dan Ukraina, sedangkan apabila Indonesia memilih abstain dalam resolusi tersebut maka Indonesia dapat melakukan upaya aktif melalui beberapa organisasi internasional seperti ASEAN atau G20 untuk mengupayakan penyelesaian konflik.

Penulis : Lanina Aprilia Kamil

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 1