Eksklusifitas HMI jadi bumerangAdi Herlambang, Ketua LAPMI Kota Metro. (red)

HomeOPINIPOLITIK

Eksklusifitas HMI jadi bumerang

Opini yang hendak disajikan ini berisikan tentang salah satu dinamika pengkadiran HMI.

Galang Dana untuk Warga Terdampak Covid-19, Lapmi Metro Lelang Karya Ukiran Daun Lafran Pane
LAPMI dan Relawan 69 Kembali Bagikan Sembako
Amrulloh resmi menjadi Formatur terpilih KAHMI Metro

Opini – Bicara soal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tentu tidak bisa dipisahkan dengan ke-Islam-an dan ke-Indonesia-annya. Pasalnya, kedua hal tersebut yang melatarbelakangi berdirinya organisasi Mahasiswa Islam tertua di Indonesia ini.

Tidak ada yang salah ketika perkumpulan orang yang mendaku diri sebegai intektual muslim memiliki tujuan mulia bagi negaranya. Terlebih, memanfaatkan intelektualitas dan spritualitas guna menciptakan keteraturan dalam bernegara.
Dalam sejarahnya, kontribusi HMI tidak diragukan lagi. Hal ini bisa dilihat dari perjuangan pada kader HMI yang mengangkat senjata saat Agresi Militer Belanda I dan II, turut andilnya kader HMI saat penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta lainnya, yang dilakukan para kader HMI semata-mata untuk Indonesia.

Menurut kacamata organisasi yang didirikan Lafran Pane ini, bahkan ada 11 fase perjuangan HMI yang sampai saat ini diaminkan hampir seluruh kader HMI se-Indonesia. Terbukti dengan diwajibkannya bagi para kader HMI untuk memahami sejarah perjuangan HMI, demi menjaga semangat akademisnya.

Belajar dari sejarah, lalu mengambil nilai yang bermanfaat untuk dijadikan tolak ukur dalam mengahdapi problematika yang akan datang. Idealnya, sejarah bekerja seperti itu. Namun berbeda dari harapan, sejarah HMI malah membuat para kadernya terbawa hegemoni sejarah. Merasa pernah banyak berkontribusi untuk negara, dan menjadikan congkak para kader yang memahaminya. Akhirnya, kawan-kawan HMI hanya bisa menjual sejarah tanpa melakukan apa-apa.

Seni berbicara yang pandai mungkin menjadikan landasan bahwa gerakan saat ini sudah tidak lagi relevan. Hal ini tidak semerta-merta ditulis tanpa landasan. Sejarawan HMI, Agussalim Sitompul, mengatakan dalam bukunya yang berjudul “44 Indikator Kemunduran HMI” salah satunya point kemundurannya adalah “terlalu banyak retorika daripada action.” Tidak hanya itu, beberapa hal yang lebih fundamental menjadi faktor utama, mengapa HMI saat ini dipandang sudah tidak seksi lagi antara lain seperti; daya kritis menurun, jauh dari mahasiswa dan yang paling penting adalah memudarnya tradisi intelektual HMI.

Dari banyaknya faktor kemunduran HMI yang 44 ini, bukan tidak diketahui oleh para kader HMI itu sendiri. Tapi seolah semua tutup mata dan telinga, karena saat ini HMI tak lebih dari sekadar media untuk mencapai tujuan personal – bukan komunal.

Tidak sedikit juga beberapa kawan HMI yang akhirnya sengaja mematikan daya kritisnya demi beberapa lembar uang kertas. Aksi jika ada intruksi atau muatan pribadi, dan berhenti berjuang ketika deal-deal sudah selesai. Bukan hanya di pemerintahan saja, bahkan di tingkat universitas atau perguruan tinggi. Wajar ketika Agussalim mengatakan bahwa “HMI semakin jauh dari mahasiswa.” Beberapa dalih realistis selalu menjadi mantra ajaib ketika kebusukan terbongkar. Menggaikan idealisme dan mengorbankan massa yang benar-benar ingin berjuang demi kepentingan abang-abang.

Hal ini sangat wajar, mengingat kemurnian dalam perjuangan makin sedikit, berimplikasi langsung pada menurunnya mahasiswa yang ingin bergabung di HMI. Tidak bisa dipungkiri, ketidaktahuan mahasiswa baru dengan modal niat ingin belajar, akhirnya terputus karena realitas yang tak lagi akrab dengan esensi mahasiswa. Bukan tanpa sebab, sebagai kader HMI, saya menulis ini dengan penuh kesedihan, mengingat biasnya perjuangan.

Untuk saling mengingatkan, saya rasa tulisan semacam ini perlu dibaca dan dijadikan pengingat bagi kawan-kawan HMI. Bukan tanpa pertimbangan, mengkritisi bagian dari tradisi budaya intelektual HMI yang kata Agussalim sendiri telah “pudar.” Bukankah dalam ranah kata perkata saja, HMI senang membahasnya, apalagi sesuatu yang esensial.

Untuk ke depan, sebagai salah satu orang yang terlanjur mencintai organisasi yang sudah berumur senja ini, mengingatkan bahwa PR kita sangat banyak. Lima kualitas Insan Cita tidak hanya berhenti pada tataran retorika, akan tetapi tanam dalam jiwa demi melawan banyaknya indikator kemunduran HMI.

Diikuti itu, saya memiliki keyakinan bahwa tujuan mulia HMI sendiri akan tercapai ketika kita sudah selesai pada persoalan yang remeh temeh. Untuk itu, mulailah membaca buku, mengaktifkan daya kritis kembali serta menghidupkan trasdisi Intelektual HMI. Bukan mengambil jalan termudah, dengan menambah faktor kemunduran HMI. Karena sejatinya, merawat kebodohan lebih mudah dan nikmat, serta jalan yang ditempuh pun sangat mulus – dibandingkan dengan berjuang.

Akhir kata; Beriman, Berilmu, Beramal. Yakin Usaha Sampai.

Penulis : Adi Herlambang (Seorang Mahasiswa tingkat akhir yang tak kunjung menemukan judul)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0